Selasa, 08 Mei 2012
Klinik gigi di Jl. Erlangga Raya,
Semarang milik Drg. MI Grace W. Susanto (53) sejak sore hingga malam jarang
sepi pasien. Rata-rata pasien minta diterapi gusi untuk
menghilangkan gangguan kesehatan dan yang diderita. Terapi Gusi, adalah temuan
Dosen Fakultas Kedokteran Gigi Undip itu di tahun 1999. Di luar
menyehatkan gigi dan gusi pasien, ibu dua putra ini adalah pemerhati seni yang
sejak 2012 ini didapuk sebagai Wakil Ketua Dewan Kesenian Jateng.
Apa saja aktivitas Anda?
Saya sehari-hari adalah dosen di
Fakultas Kedokteran Gigi, Undip. Di luar itu, saya buka klinik sejak sore
hingga malam di rumah. Saya juga punya day care atau penitipan anak di sebuah kampung. Nah, setiap pagi saya menengok
anak-anak dulu di day care . Siangnya saya ke Merby di kawasan Bangkong. Dulu, Merby
adalah one stop course . Sekarang, sekolah dan tempat kursus berbagai macam keterampilan. Mulai
dari Bahasa Jawa, musik, lukis, tari, dan sebagainya.
Di Merby ini juga ada kantin yang
menjual makanan sehat tanpa penyedap dan bahan pengawet. Di lantai atas, saya
pakai untuk menjual aneka barang kerajinan mulai dari kain batik, gantungan
kunci, tas, dan lainnya. Selain wisatawan lokal, banyak juga wisatawan dari
Malaysia belanja ke mari.
Terapi gusi secara tak sengaja saya
temukan tahun 1999. Bermula ketika saya melakukan pembersihan karang gigi (calculectomy ) dan pembersihan jaringan gingiva (currettage ) dengan cara mengeluarkan darah kotornya di pinggiran gusi. Rata-rata
pasien saya mengatakan, gangguan kesehatannya membaik setelah itu. Semula
saya tidak tahu apa sebabnya. Dari pengamatan klinis saya sejak 2003, rata-rata
pasien yang suka makan mi instan, gusinya menjadi cokelat. Itu tanda darahnya keracunan
penyedap rasa. Nah, darah di gusi itulah yang saya bersihkan.
Lalu?
Berapa lama pelaksanaan terapinya?
Tergantung orangnya dan tergantung
sakitnya. Kalau keluhannya mata, punggung, susah tidur, ya, banyak yang harus
dibersihkan.
Apa yang harus dilakukan pasien setelah terapi gusi?
Menjaga konsumsi makanan saja. Seusai
terapi, saya menyodorkan daftar makanan yang bermanfaat dan yang tidak
bermanfaat bagi si pasien sesuai golongan darahnya. Karena, makanan yang masuk
ke tubuh kita itu berpengaruh banyak terhadap kesehatan tubuh. Mulut
adalah pintu gerbang semua makanan dan minuman yang masuk ke dalam tubuh,
bukan? Nah, kalau dia melanggar makanan yang tidak bermanfaat itu, ya, akan
kambuh lagi penyakit atau gangguan kesehatannya.
Yang jelas hati-hati, darah bisa
keracunan akibat bahan kimia semacam penyedap rasa. Tanda-tandanya gusi
menjadi cokelat. Gunakanlah penyedap makanan alami dari rempah-rempah. Gorengan
juga tidak bagus. Konsumsi saja bahan pangan segar.
Terapi ini untuk siapa saja?
Untuk semua orang, mulai anak-anak
hingga nenek-nenek. Mas Didik Nini Thowok saat pinggangnya tidak bisa
digerakkan, usai diterapi langsung bisa megal-megol. Anak-anak yang suka muntah tiap kali gosok gigi, juga sembuh setelah
diterapi. Yang punya kebiasaan mengorok saat tidur juga sembuh.
Apakah temuan Anda
sudah dipatenkan?
Sudah. Sertifikatnya diberikan pada
Februari 2012. Saya mematenkan ini juga atas saran beberapa karyawan HAKI
yang pernah diterapi dan sembuh. Begitulah, lancar saja jadinya. Saya
juga sudah menulis buku tentang terapi gusi. Ini buku saya yang kedua. Maret
lalu diluncurkan dan dijual secara umum. Saya juga sudah praktikkan terapi ini
di Mabes TNI di Jakarta. Ketika itu ada komandan yang diterapi dan
sembuh. Kemudian, dia minta saya mendemokannnya di depan para anggota
TNI.
Oh ya, Anda seorang
dokter gigi yang suka seni juga, ya?
Saya lahir dan besar di Jogja. Tahu
sendiri, kan, seperti apa Jogja? Sedikit-sedikit ada kesenian. Ketika saya
pindah ke Semarang, kegemaran berkesenian masih melekat. Semua mengalir dengan
sendirinya. Saya pernah menggagas acara Wayang on The Street . Kala itu saya mengumpulkan 400 anak dengan pakaian wayang. Saya
karnavalkan mereka keliling kota bersama Didik Nini Thowok. Selain itu, saya
juga terpilih menjadi Wakil Ketua Dewan Kesenian Semarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar