For Your Information :)

Selasa, 17 Desember 2013

Grace W. Susanto, Penemu Terapi Gusi Sekaligus Penggagas Seni

Selasa, 08 Mei 2012

Foto: Rini Sulistyati/Nova
Klinik gigi di Jl. Erlangga Raya, Semarang milik Drg. MI Grace W. Susanto (53) sejak sore hingga malam jarang sepi pasien. Rata-rata pasien  minta diterapi gusi untuk menghilangkan gangguan kesehatan dan yang diderita. Terapi Gusi, adalah temuan Dosen Fakultas Kedokteran Gigi Undip itu di tahun 1999. Di luar menyehatkan gigi dan gusi pasien, ibu dua putra ini adalah pemerhati seni yang sejak 2012 ini didapuk sebagai Wakil Ketua Dewan Kesenian Jateng.

Apa saja aktivitas Anda? 
Saya sehari-hari adalah dosen di Fakultas Kedokteran Gigi, Undip. Di luar itu, saya buka klinik sejak sore hingga malam di rumah. Saya juga punya day care  atau penitipan anak di sebuah kampung. Nah, setiap pagi saya menengok anak-anak dulu di day care . Siangnya saya ke Merby di kawasan Bangkong.  Dulu, Merby  adalah one stop course . Sekarang, sekolah dan tempat kursus berbagai macam keterampilan. Mulai dari Bahasa Jawa, musik, lukis, tari, dan sebagainya.
Di Merby ini juga ada kantin yang menjual makanan sehat tanpa penyedap dan bahan pengawet. Di lantai atas, saya pakai untuk menjual aneka barang kerajinan mulai dari kain batik, gantungan kunci, tas, dan lainnya. Selain wisatawan lokal, banyak juga wisatawan dari Malaysia belanja ke mari.

Anda juga dikenal sebagai penemu terapi gusi. Apa itu?
Terapi gusi secara tak sengaja saya temukan tahun 1999. Bermula ketika saya melakukan pembersihan karang gigi (calculectomy ) dan pembersihan jaringan gingiva (currettage ) dengan cara menge­luar­kan darah kotornya di pinggir­an gusi. Rata-rata pasien saya me­nga­takan, gangguan kesehatannya membaik setelah itu. Semula saya tidak tahu apa sebabnya. Dari pengamatan klinis saya sejak 2003, rata-rata pasien yang suka makan mi instan, gusinya menjadi cokelat. Itu tanda darahnya keracunan penyedap rasa. Nah, darah di gusi itulah yang saya bersihkan.

Grace dan suami sama-sama mencintai seni. (Foto: Rini/NOVA)
Lalu?
Suami saya, Prof. DR. Dr. J. Handono Susanto, (PAK (K) adalah ahli anatomi tubuh. Dari dia saya  mendapat penjelasan korelasi gigi dan tubuh. Kami banyak berdiskusi, kenapa penyedap rasa bisa membuat gusi berwarna cokelat. Menurut suami sa­ya, penyedap rasa memang bisa menyebabkan kekentalan dalam darah. Begitulah kami diskusi terus dan saling melengkapi. Tahun 2005 saya mulai be­­rani menuangkan pengalaman-pengalaman klinis  yang saya temui pada pasien saya ke dalam tulisan  dan mempublikasikannya.

Berapa lama pelaksanaan terapinya?
Tergantung orangnya dan tergantung sakitnya. Kalau keluhannya mata, punggung, susah tidur, ya, banyak yang harus dibersihkan.

Apa yang harus dilakukan pasien setelah terapi gusi?
Menjaga konsumsi makanan sa­ja. Seusai terapi, saya menyodorkan daftar makanan yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat bagi si pasien sesuai golongan darahnya. Karena, makanan yang masuk ke tubuh kita itu berpengaruh banyak terhadap kesehatan tubuh. Mulut  adalah pintu gerbang semua makanan dan minuman yang masuk ke dalam tubuh, bukan? Nah, kalau dia melanggar makanan yang tidak bermanfaat itu, ya, akan kambuh lagi penyakit atau gangguan kesehatannya.
Yang jelas hati-hati, darah bisa keracunan aki­bat bahan kimia semacam penyedap rasa.  Tanda-tandanya gusi menjadi cokelat. Gunakanlah penyedap makanan alami dari rempah-rempah. Gorengan juga tidak bagus. Konsumsi saja bahan pangan segar.

Terapi ini untuk siapa saja?
Untuk semua orang, mu­lai anak-anak hingga nenek-nenek. Mas Didik Nini Thowok saat pinggangnya tidak bisa digerakkan, usai diterapi langsung bisa megal-megol. Anak-anak yang suka muntah tiap kali gosok gigi, juga sembuh setelah diterapi. Yang punya kebiasaan mengorok saat tidur juga sembuh.

Grace dikenal sebagai dokter gigi penemu terapi gusi. (Foto: Rini/NOVA)
Apakah temuan Anda sudah dipatenkan?
Sudah. Sertifikatnya diberikan pada Februari 2012. Saya mematenkan ini juga atas saran beberapa karyawan HAKI yang pernah diterapi dan sembuh. Be­gitu­lah, lancar saja jadinya. Sa­ya juga sudah menulis buku tentang terapi gusi.  Ini buku saya yang kedua. Maret lalu diluncurkan dan dijual secara umum. Saya juga sudah praktikkan terapi ini di Mabes TNI di Jakarta.  Ketika itu ada komandan yang diterapi dan sembuh. Kemudian, dia minta saya mendemokannnya di depan para anggota TNI. 

Oh ya, Anda seorang dokter gigi yang suka seni juga, ya?
Saya lahir dan besar di Jogja. Tahu sendiri, kan, seperti apa Jogja? Sedikit-sedikit ada kesenian. Ketika saya pindah ke Semarang, kegemaran berkesenian masih melekat. Semua mengalir dengan sendirinya. Saya pernah menggagas acara Wayang on The Street . Kala itu saya mengumpulkan 400 anak dengan pakaian wayang. Saya karnavalkan mereka keliling kota bersama Didik Nini Thowok. Selain itu, saya juga terpilih menjadi Wakil Ketua Dewan Kesenian Semarang.
Rini Sulistyati